Seiring dengan keluarnya regulasi pengadaan barang dan jasa di lingkungan birokrasi maka akan sangat akrab dengan istilah pejabat pembuat komitmen. Istilah lamanya, pimpinan proyek atau pimpinan bagian proyek.
Pejabat Pembuat Komitmen (selanjutnya disebut PPK) merupakan tokoh penting dalam pengadaan barang dan jasa, karena PPK merupakan orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. (Perpres 54 Tahun 2010 pasal 1 ayat 7). Sehingga PPK bertanggung jawab secara administrasi, teknis dan finansial terhadap pengadaan barang dan jasa.
Di era lama, orang menganggap jabatan PPK merupakan jabatan basah, karena ‘memakmurkan’ orang yang menjabatnya. Sehingga banyak pejabat struktural kadang berlomba-lomba untuk menjadi PPK. Tetapi di era reformasi ini, jabatan PPK menjadi momok bagi birokrat.
Alasannya tidak lain karena PPK sangat rentan dengan masalah hukum, terkait dengan pelaksanaan kontrak. Akan sangat lazim kita jumpai kasus tindak pidana korupsi terkait PBJ, pastilah menyeret PPK dan penyedia barang/jasa. Hal ini merupakan konsekuensi yuridis dari dokumen kontrak yang dibuat oleh PPK dan penyedia.
Dalam Perpres 54 Tahun 2010 pasal 12 ayat 2, syarat menjadi PPK tersurat dengan tegas :
- memiliki integritas;
- memiliki disiplin tinggi;
- memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas;
- mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN;
- menandatangani Pakta Integritas;
- tidak menjabat sebagai pengelola keuangan; dan
- memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
Persyaratan manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah:
- berpendidikan paling kurang Sarjana Strata Satu (S1) dengan bidang keahlian yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan;
- memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa; dan
- memiliki kemampuan kerja secara berkelompok dalam melaksanakan setiap tugas/pekerjaannya.
Dalam uraian diatas cukup jelas mengenai syarat menjadi PPK, sehingga sesuai dengan judul artikel ini, kita dapat menarik kesimpulan sementara, bahwa apabila seorang pejabat struktural atau bahkan eselon menjadi PPK, harus memenuhi syarat di atas.
PPK di daerah
Sejak keluarnya Permendagri 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, banyak gejolak muncul di daerah. Salah satu bagian yang paling ‘hot’ di Permendagri 21 ini adalah pasal 10A menyebutkan :
“Dalam rangka pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.”
Pengguna Anggaran yang dalam hal ini Kepala SKPD menjadi kelabakan, tetapi bagi cerdas menangkap uraian di Pasal 11, maka akan terlihat jelas bahwa salah satu kewenangan yang paling ditakuti Pengguna Anggaran, menjadi PPK, dapat dilimpahkan.
Kesimpulan
Menjadi catatan penting bagi setiap penyelenggara negara baik di pusat dan di daerah, bahwa kegiatan PBJ, yang berlandaskan pada kontrak/perjanjian, merupakan kegiatan yang membutuhkan banyak pemahaman dan atau kemampuan. PBJ dimulai dari perencanaan, pelaksanaan pengadaan, dan kontrak, serta serah terima barang/jasa/pekerjaan. Seorang PPK merupakan jenderal yang mengatur irama proses PBJ, sehingga kalaulah diserahkan kepada orang yang belum memahami di setiap aspek dan tahapannya, maka dikhawatirkan output kegiatan PBJ tidak akan tercapai.
Hanya orang yang memenuhi syarat sebagai PPK sebagaimana amanat Perpres yang akan mampu mengawal PBJ sehingga bebas terjerat dari berbagai masalah, terutama masalah hukum. Sehingga PPK tidak harus dijabat oleh orang yang mempunyai eselon, dan sebaliknya orang yang punya eselon jangan memantaskan diri menjadi PPK, kecuali telah memenuhi syarat menjadi PPK.
Rahfan Mokoginta
Feb 22, 2012 @ 23:16:41
Manta ulasannya Mas Atas. Tapi PA/KPA sebagai PPK apa wajib bersertifikat ?
Hehehe…. nggak puas bahas di milis
Rahfan Mokoginta
Feb 22, 2012 @ 23:17:54
Mantap ulasannya Mas Atas. Tapi PA/KPA sebagai PPK apa wajib bersertifikat ?
Hehehe…. nggak puas bahas di milis
atasyudakandita
Feb 23, 2012 @ 06:44:46
Ada pendapat lazim dari keumuman ahli menyatakan bahwa PA/KPA tidak perlu bersertifikat dalam mengadakan kontrak karena diamanatkan oleh UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara.
Dalam hal ini kami tidak bersepakat mengenai penafsiran bahwa PA/KPA tidak wajib bersertifikat karena mengacu kepada azas hukum “Lex specialis derogat legi generali”.
UU Keuangan Negara (17/2003) dan UU Perbendaharaan Negara (1/2004) merupakan lex generali dalam pelaksanaan APBN/APBD, tetapi Perpres 54 tahun 2010 adalah lex specialis dari aturan Pengadaan Barang Jasa (PBJ).
Sehingga sesuai dengan judul tulisan ini, maka siapaun dia, dalam eselon apapun, entah menjadi PA/KPA, maka tidak lantas dapat melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran keuangan negara (APBN/APBD) berupa kontrak PBJ. Karena untuk dapat melaksanakan kontrak PBJ, maka seseorang harus memenuhi syarat-syarat yang ada dalam Perpres 54 Tahun 2010. Lex specialis (Perpres 54 tahun 2010) derogat legi generali (UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara)
demikian pemahaman kami mas rahfan ……..
DQ
Feb 23, 2012 @ 14:19:50
Urun rembug ben rame,,,
“Lex specialis derogat legi generali” menurut saya untuk yg sekelas,,uu dg uu pp dg pp,,,nah kalo peppres dengan peppres, jadi untuk hal ini mengacu ke hirarki, jadi hirarki uu lebih kuat dari peppres,,,
Jadi pa atau kpa yg bertindak selaku ppk ngga perlu bersertifikat,,,,
🙂 pisss,,,
atasyudakandita
Mar 05, 2012 @ 15:15:16
wah mantab nih, pendapat mengenai asas hukum tadi perlu diperdalam
ada referensi tambahan kah ? buku atao e-book juga boleh
DQ
Feb 24, 2012 @ 15:32:08
asas hukum/doktrin hukum sebagai berikut:
1) Lex superior derogat legi inferiori.
Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.
2) Lex specialis derogat legi generalis Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan menggesampingkan aturan hukum yang umum.Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis :
(a) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
(b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang).
(c) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
3). Asas lex posterior derogat legi priori. Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru. Asas ini pun memuat prinsip-prinsip: (1) Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama;(2) Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama. Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku.
atasyudakandita
Mar 05, 2012 @ 15:18:02
haturnuhun atas koreksinya, ehm cuman perlu penggalian sumber hukum kembali.
sepaham yang kami ketahui, bahkan di permendagri 21 tahun 2011 juga ada ketegasan bahwa PA/KPA bertindak sebagai PPK, harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait PBJ (Perpres 54 tahun 2010)
heldi
Feb 25, 2012 @ 01:08:15
eeeehhhh… ternyata sudah punya blog yah… 🙂
blog roll donk om…
ditunggu ya… saya dah pasang blog om yuda di heldi.net
salam pengadaan dari bogor 🙂
heldi
atasyudakandita
Mar 05, 2012 @ 15:18:56
belajar menuliskan ide Kang, mohon dukungannya
Pejabat Pembuat Komitmen tidak wajib Eselon, Eselon Tidak Harus menjadi Pejabat Pembuat Komitmen | Pusat Pengkajian Pengadaan indonesia
Jul 02, 2012 @ 17:16:16