Sebuah Catatan Perjalanan, Merger Database SIMPUS, 2009

Leave a comment

Menyusuri setiap kecamatan di Kabupaten Makmur, menjangkau setiap Puskesmas. Perjalanan yang mengasyikan, kadang jalannya bagus, ada juga jalan yang berlubang.
Bertegur sapa dengan teman teman petugas Sistem Informasi Manajemen Puskesmas, sesekali diiringi canda ( biar tidak jenuh ).Dari Puskesmas Baki, kemudian bergerak ke timur ke Puskesmas Polokarto.
Merangsek ke utara ke Puskesmas Mojolaban.

Kartasura menunggu giliran….
Rencananya, target tim informasi dan data kesehatan, akan menuntaskan Puskesmas Kartasura dan Puskesmas Gatak sebelum hajatan akbar demokrasi. Bukan pekerjaan yang susah sih, tetapi butuh kecermatan dan kesabaran. Semangat itu pula yang hendak kami sebarkan kepada teman-teman petugas SIMPUS. Selalu ada celah untuk mengalir, ibarat air.

Itulah sepenggal catatan perjalanan tim Informasi dan Data Kesehatan, dalam rangka menyelaraskan database pasien di Puskesmas Induk yang termerger. (Sesuai Peraturan Daerah tentang SOTK 2008). Tidak terasa, ternyata sudah hampir 4 tahun kami memikul amanah untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan dengan menerapkan Sistem Informasi Manajemen Puskesmas.
Banyak orang menulis di kolom surat kabar mengenai penerapan resep elektronik atau bahkan pelayanan terintegrasi dalam sebuah sistem informasi, walaupun kadang masih ujicoba atau pilot project.
Yang kami laksanakan di Kabupaten Makmur ini, adalah penerapan dalam skala massif, seluruh pelayanan di Puskesmas Induk, dengan landasan teori yang amat minim.
Kemauan dan tekat kami sudah bulat, kami harus memperbaiki pelayanan kesehatan di tempat pelayanan kesehatan dasar, ujung tombak sektor kesehatan.
Berangkat dari visi dan keyakinan, kami yakin, sebuah sistem informasi kesehatan (SIMPUS), hasil karya anak negeri ini akan mampu menjawab tantangan sektor kesehatan di masa mendatang.
Keyakinan itu semakin membuncah tatkala Global Conference on Open Source (GCOS) 2009, kami bertemu salah satu konsultan WHO Asia Pacifik, Alvin Marcelo memberikan apresiasi yang sangat luar biasa. “Amazing !!!”
Kami semakin sadar, kami berada di jalur yang benar, ketika tidak dinyana, secara pribadi mendapat jabat tangan dan apresiasi dari Prof Soegi, pakar Biomedik ITB.
Kesimpulan kami, bahwa dalam pengembangan sistem informasi kesehatan, bukanlah berorientasi proyek, pengadaan hardware dan software semata, tetapi yang lebih penting adalah pendampingan secara kontinyu dan berkelanjutan.
Dari salah satu pelosok kabupaten di Jawa Tengah, kami sampaikan pengalaman dan pesan ini, kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) sektor kesehatan di seluruh penjuru mata angin.
(sambil berpose seperti Optimus Prime, pimpinan Autobots, di akhir film Transformer)

Pejabat Pembuat Komitmen tidak wajib Eselon, Eselon Tidak Harus menjadi Pejabat Pembuat Komitmen

10 Comments

 

Seiring dengan keluarnya regulasi pengadaan barang dan jasa di lingkungan birokrasi maka akan sangat akrab dengan istilah pejabat pembuat komitmen. Istilah lamanya, pimpinan proyek atau pimpinan bagian proyek.

Pejabat Pembuat Komitmen (selanjutnya disebut PPK) merupakan tokoh penting dalam pengadaan barang dan jasa, karena PPK merupakan orang yang bertanggung jawab atas  pelaksanaan pengadaan barang/jasa. (Perpres 54 Tahun 2010 pasal 1 ayat 7). Sehingga PPK bertanggung jawab secara administrasi, teknis dan finansial terhadap pengadaan barang dan jasa.

Di era lama, orang menganggap jabatan PPK merupakan jabatan basah, karena ‘memakmurkan’ orang yang menjabatnya. Sehingga banyak pejabat struktural kadang berlomba-lomba untuk menjadi PPK. Tetapi di era reformasi ini, jabatan PPK menjadi momok bagi birokrat.

Alasannya tidak lain karena PPK sangat rentan dengan masalah hukum, terkait dengan pelaksanaan kontrak. Akan sangat lazim kita jumpai kasus tindak pidana korupsi terkait PBJ, pastilah menyeret PPK dan penyedia barang/jasa. Hal ini merupakan konsekuensi yuridis dari dokumen kontrak yang dibuat oleh PPK dan penyedia.

Dalam Perpres 54 Tahun 2010 pasal 12 ayat 2, syarat menjadi PPK tersurat dengan tegas :

  1. memiliki integritas;
  2. memiliki disiplin tinggi;
  3. memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas;
  4. mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN;
  5. menandatangani Pakta Integritas;
  6. tidak menjabat sebagai pengelola keuangan; dan
  7. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.

Persyaratan manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah:

  1. berpendidikan paling kurang Sarjana Strata Satu (S1) dengan bidang keahlian yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan;
  2. memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa; dan
  3. memiliki kemampuan kerja secara berkelompok dalam melaksanakan setiap tugas/pekerjaannya.

Dalam uraian diatas cukup jelas mengenai syarat menjadi PPK, sehingga sesuai dengan judul artikel ini, kita dapat menarik kesimpulan sementara, bahwa apabila seorang pejabat struktural atau bahkan eselon menjadi PPK, harus memenuhi syarat di atas.

PPK di daerah

Sejak keluarnya Permendagri 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, banyak gejolak muncul di daerah. Salah satu bagian yang paling ‘hot’ di Permendagri 21 ini adalah pasal 10A menyebutkan :

“Dalam rangka pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.”

Pengguna Anggaran yang dalam hal ini Kepala SKPD menjadi kelabakan, tetapi bagi cerdas menangkap uraian di Pasal 11, maka akan terlihat jelas bahwa salah satu kewenangan yang paling ditakuti Pengguna Anggaran, menjadi PPK, dapat dilimpahkan.

Kesimpulan

Menjadi catatan penting bagi setiap penyelenggara negara baik di pusat dan di daerah, bahwa kegiatan PBJ, yang berlandaskan pada kontrak/perjanjian, merupakan kegiatan yang membutuhkan banyak pemahaman dan atau kemampuan.  PBJ dimulai dari perencanaan, pelaksanaan pengadaan, dan kontrak, serta serah terima barang/jasa/pekerjaan. Seorang PPK merupakan jenderal yang mengatur irama proses  PBJ, sehingga kalaulah diserahkan kepada orang yang belum memahami di setiap aspek dan tahapannya, maka dikhawatirkan output kegiatan PBJ tidak akan tercapai.

Hanya orang yang memenuhi syarat sebagai PPK sebagaimana amanat Perpres yang akan mampu mengawal PBJ sehingga bebas terjerat dari berbagai masalah, terutama masalah hukum. Sehingga PPK tidak harus dijabat oleh orang yang mempunyai eselon, dan sebaliknya orang yang punya eselon jangan memantaskan diri menjadi PPK, kecuali telah memenuhi syarat menjadi PPK.

Venus vs Mars 3 – 0

Leave a comment

Cerita lalu : Manis di akhir…..Semoga

Menjadi impian seorang laki laki untuk dapat memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Berjuang untuk mendapat kebebasan finansial, baik menjadi pengusaha maupun bekerja di perusahaan bonafid yang diharapkan memberikan kompensasi hidup yang sesuai. Berjuang untuk mengangkat harkat dan martabat orang tua, membuat mereka tersenyum bahagia. Dan seterusnya …..

Itu pikiran saya ketika mengejar posisi di salah satu perusahaan minyak yang bonafid di dunia, bukan hanya di Nusantara lho……

Dengan settle point di Balikpapan dan Jakarta, saya sudah menghitung berapa rupiah bahkan mungkin dolar, yang akan mampu membuat orang tua, istri, bahkan anak-anak saya tersenyum, menikmati kenyamanan hidup. hehehehehe….pikiran yang pragmatis ya.

1-0

Eh, ternyata, istri mempunyai gambaran hidup yang ternyata berbeda.

Dilahirkan dari keluarga bersahaja, kekasih saya itu, cuma berfikir sederhana. (pikir saya waktu itu)

Istri ingin hidup di karesidenan Solo Raya saja, yang penting kecukupan, hehehehe …….(cukup rumah, cukup kendaraan keluarga, cukup harta dst)

Keinginan kuat istri untuk ‘settle’ di karesidenan cukup beralasan. Dia pernah melihat kerasnya kehidupan ibukota dan kota besar. Waktu itu saya sempat protes juga, karena upah keringat di daerah khan jauh berbeda dibanding di kota besar. Kapan nanti kita bisa beli ini, beli itu dst……

Tetapi saya menghormati pemikiran istri saya, walaupun saya bisa juga menggunakan otoritas saya sebagai suami … (pakai maksa dikit gitu, hehehehe)

Pemikiran istri sangat logis. Dialah yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak, ketika saya bekerja. Pertimbangan untuk hidup di kota besar akan memberatkan, untuk membesarkan anak anak dalam bingkai moral dan nilai yang kita inginkan.

1 – 0 untuk istri saya …

2-0

Itu kisah beberapa tahun lalu, saat pernikahan kami masih seumur jagung.

Hidup memang pilihan, kita yang bertanggung jawab atas pilihan kita, bukan orang lain.

Saat ini, ketika buah hati kami yang pertama sudah memasuki TK Kecil, hikmah itu sedikit demi sedikit hikmah itu terbuka.

Pilihan hidup istri saya, tinggal di kota kecil dan nyaman, bukanlah tanpa alasan, bukan pula tanpa sebab……….

Wanita memang ditakdirkan memiliki perasaan dan naluri yang kuat, sungguh beruntung saya memiliki dia di samping saya. Istriku sayang, aku semakin mencintaimu ……

haiyah koq malah sayang-sayangan …!!!

Dulu saya berfikir simpel, sampai menyimpelkan hubungan kekerabatan, terlebih dengan orang tua.

Saat ini, ketika orang tua (ortu saya atau ortu istri) kadang sakit-sakitan, ALHAMDULILLAH, bisa selalu menengok, mendukung mereka. Dan saya yakin akan selalu begitu, orang tua kami akan semakin uzur. Saat untuk menunjukkan bakti kita kepada orang tua…..

coba kalo kami memutuskan untuk tinggal di kota besar, ga terbayang untuk ambil cuti, kemudian naik pesawat, setiap kali orang tua butuh dukungan.

terima kasih istriku, kau tunjukkan bagaimana menggapai surga dengan ridlo orang tua …….

2 – 0 untuk istriku

3-0

Saat adik-adik butuh pendampingan dalam urusan mereka, baik kuliah maupun pekerjaan, saya dan istri mampu untuk memberikan yang kami punya. apalagi ketika adik yang paling kecil ‘menghajar’ kakek tua dengan motornya, wuih repotnya kalo saat itu saya hidup di kota lain …….

Saya anak kedua, sedang istri anak pertama, jadi otomatis kami masih punya tanggung jawab terhadap adik-adik kami.

gubrakkkkk hattrick 3 – 0

Udahlah, cukup hattrick saja (yang lain off the record, hehehehhe……)

Amazing……hikmah sebuah pilihan hidup.

dari waktu ke waktu kami jalani, ternyata pemikiran istri saya jauh lebih  kompleks dibanding saya

Ibarat pemain catur, 1000 langkah mungkin telah dipetakan oleh istri saya, termasuk dengan berbagai peluang dan ancaman (kayak SWOT kali….)

Sedang saya mungkin mikir 10 juta langkah, tetapi kurang dalam pendekatan rasa. Pikiran laki laki kadang terlalu matematis, hitam atas putih aja…….Untuk hitungan dagang sih OK …!!

Pelajaran berharga yang saya petik adalah

Mendengar……mendengar dengan hati terbuka dan pikiran jernih …… apalagi dari orangtua (ortu dan mertua), istri, dan anak anak

Konklusi saya, ternyata pemikiran dan harapan orang terdekat kita, sangat perlu kita pertimbangkan. bahkan WAJIB.

Ternyata membahagiakan mereka, akan menjadi kebahagiaan bagi diri kita, dan pemikiran mereka pun bagian dari upaya mereka membahagiakan kita juga …..baru sadar ya ???

dan bersama mereka, memaknai hidup lebih berarti, mewarnai dunia dengan indahnya pelangi ………….eitss  sok puitis

udah itu dulu ya, moga bisa diambil hikmahnya .

Sekolah Anti PR

2 Comments

Best practice saat menjadi pengajar dan litbang di International Islamic School

Saya termasuk orang yang anti PR (pekerjaan rumah), apalagi untuk anak pendidikan usia dini.
Hal itu  dikarenakan banyak hal yang ternyata malah menjadi kontradiktif dengan adanya PR tersebut. Bahkan ketika saya mempelajari kurikulum dari beberapa negeri tetangga, yang IPM-nya di jauh di atas Indonesia, PR bukanlah kewajiban, apalagi kalo melihat mayoritas guru yang hanya sekedar memberi PR atau hanya sekedar mengerjakan LKS.
Belajar adalah proses, bukan hasilnya yang utama, tetapi bagaimana prosesnya itu yang benar.
Ketika anak tertarik dengan pelajaran yang diberikan maka sudah menjadi hal wajar mereka utk mempelajari lebih dalam tentang hal tersebut, maka pada saat itulah PR diberikan ………..
Kita lupa bagaimana membuat pelajaran itu bisa menarik kepada anak, tetapi lebih banyak ‘kejar target’ pencapaian kompetensi yang kebanyakan tidak pas dengan tingkat perkembangan anak.
Anak sampai kelas 2 elementary school aja, cuma berhitung sampe angka 20, tetapi berhitung yang benar, konsep yang benar (di negara tetangga).
Kalo mayoritas sekolah kita, anak diajarin sebanyak mungkin mengenal angka sebanyak mungkin. Apa perlunya anak TK dan SD dengan angka ratusan sebanyak itu, tanpa tahu penerapan di lapangan.
Belum lagi pelajaran menghafal nama-nama tumbuhan atau binatang yang anak belum tentu pernah melihatnya.
Saudara sebangsa setanah air …..
Anak usia dini konsep berfikirnya adalah riil konkrit.
Mereka belum bisa abstraksi (kecuali beberapa anak berkemampuan khusus) apalagi persepsi.
Jadi ya ajarkan sesuatu yang NYATA, bukan sesuatu yang imajiner bagi mereka !
Mengapa juga anak TK diajarin membaca dengan serius, konsentrasi mereka bertahan maksimal 15 menit.
Kalau kita boleh jujur, kita yang sudah dewasa saja kemampuan konsentrasi kita hanya 17 menit, maksimal lho.
Akankah kita tetap mempertahankan tradisi PR yang sebetulnya mengebiri inovasi orang tua dan guru.
Atau jangan-jangan PR hanyalah dalih dari seorang guru atau orang tua, karena tidak mampu mengajar sebuah materi dengan baik….????

Dedikasi dan Profesi Pengadaan

Leave a comment

Ilmu memang mahal, tetapi tidak pantas untuk dikomersilkan

Berbicara masalah pengadaan, bagi sebagian besar orang akan menganggap sebagai tugas besar, dengan risiko yang teramat besar pula. Mungkin juga banyak yang berpandangan tidak sebanding dengan honor yang tidak begitu besar. Tetapi ada juga orang yang berharap bisa terlibat dalam pengadaan, karena ada ‘imbalan’ besar pula yang bisa diambil dari sana. Hal tersebut bukanlah hal yang mengada-ada. Apabila kita amati lebih cermat perkembangan dari waktu ke waktu, maka kasus pengadaan barang dan jasa mendominasi hampir 80 % kasus korupsi di KPK. Menyedihkan ……

Bagi kami pribadi, itu tidaklah mengherankan. Proporsi pejabat publik yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa dibanding dengan pejabat publik yang mengenyam pelatihan pengadaan barang dan jasa yang benar (kami tegaskan pelatihan PBJ yang benar) belumlah seimbang. Bila semakin dikaji lebih dalam, maka bisa jadi akan ditemukan korelasi yang signifikan antara para pengajar (instruktur) PBJ yang berdedikasi tinggi dibanding dengan kualitas para pejabat publik yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa. Bisa jadi lho …..

Berdedikasi tinggi ??? Apa pula makna itu. Mungkin ada baiknya pemaparan ini kita renungkan.

Kami tergelitik mengikuti perdebatan dalam milis instruktur PBJ, mengenai kasus adanya oknum narasumber pelatihan PBJ yang meminta tambahan honor kepada penyelenggara pelatihan. Perdebatan semakin bergulir, ada yang berharap adanya keterbukaan untuk mengungkap oknum yang bersangkutan, tetapi ada pula yang menjadikan diskursus ini mengarah kepada formulasi standar profesi.

Ahhhh, apa pula itu ??? Bahwa profesi instruktur atau narasumber pengadaan, haruslah memiliki standar minimal, kalau perlu seperti bidang kedokteran. Menurut pemapar konsep ini, semisal Ikatan Dokter Indonesia, sebagai wadah profesi kemanusiaan, juga memikirkan profesionalisme (baca : memikirkan kesejahteraan profesi). Wah, apa benar statemen tersebut ?

Setahu kami, selama dinas di instansi kesehatan ini, tunjangan dokter per bulan tertinggi hanyalah  1 juta dengan golongan fungsional dokter utama. Kalau mau ke daerah terpencil tunjangan bisa mencapai 5 juta/bulan, dan di daerah sangat terpencil tunjangan bisa mencapai 10 juta/bulan. Itu sudah termasuk berbagai faktor risiko yang ada. Itu profesi seorang dokter.

Kegiatan pelatihan PBJ dengan minimal 30 Jam Pelajaran, tidaklah lebih berat dibanding profesi dokter di daerah terpencil tadi. Sehingga, kalau saja panitia penyelenggara memberikan honor  hanya 200 ribu/JP itu sudah sangat memadai, dengan catatan semua akomodasi dan transportasi sudah ditanggung penyelenggara. Mungkin juga ada yang akan berkomentar berlawanan. Bukankah Standar Biaya Umum menyatakan honor per jam untuk seorang moderator saja mencapai 500 ribu, kenapa pembicara/narasumber/instruktur bisa dibawah seorang moderator.

Saudaraku………

Dengan hanya 200 ribu/JP, berarti seorang instruktur akan menerima 6 juta/3 hari pelatihan. 6 juta untuk 30 JP, lebih dari memadai karena akomodasi dan transportasi ditanggung oleh penyelenggara. Bagi yang menganggap instrukur sebagai profesi, tolong angka itu dibandingkan dengan seorang dokter yang bertugas di daerah sangat terpencil ??? Atau perlu dibandingkan dengan prajurit penjaga perbatasan yang harus bertugas sekian bulan di pelosok negeri ???

Saudaraku ………..

Ilmu memang mahal, bahkan tiada harga yang pantas untuk suatu ilmu. Tetapi sadarkah kita, darimana kita memperoleh ilmu tersebut, bisakah kita menjadi narasumber/instruktur tanpa mengikuti TOT, yang notabene dibiayai oleh negara, dibiayai dari pajak rakyat ??? Akankah kita tetap sombong bahwa ilmu tadi milik kita sepenuhnya, sehingga dengan semangat membara kita meminta standar minimal honor ?

Saudaraku …………

Tatkala kita menuntut honor sesuai SBU saja, seharusnya kita miris.

Bukan instruktur yang bertanggung jawab dalam sebuah proses pengadaan, sekali lagi BUKAN INSTRUKTUR. Yang memiliki seluruh risiko dalam proses PBJ  adalah mereka yang kita ajar dalam pelatihan PBJ, karena merekalah yang akan menjadi Pokja ULP, PPHP atau bahkan PPK. Kesalahan seorang instruktur dalam menyampaikan materi pelatihan tidak akan berakibat fatal, kecuali turunnya kredibilitas yang bersangkutan. Tetapi kesalahan proses PBJ oleh mereka yang kita latih, bisa berakibat dari minimal sampai sangat fatal (berisiko hukum). Coba bandingkan honor seorang pengajar/narasumber menurut SBU dengan honor mereka yang terlibat PBJ sesuai SBU. Adilkah itu ? Honor tertinggi PPK sesuai SBU, untuk kontrak di atas 100 M, tidak lebih dari 2 juta. Coba kita bandingkan dengan waktu yang harus dialokasikan untuk proses PBJ, yang mungkin bisa mencapai bulanan, sejak dari perencanaan sampai dengan penyerahan pekerjaan.

Mungkin sementara cukup 3 pertimbangan tadi Saudaraku …….

Kita semua berkeinginan bahwa pengadaan kredibel sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan bangsa tercinta. Membersihkan proses pengadaan dari stigma negatif yang selama ini melekat.  Jujur saja, bangsa di manapun masih akan menempatkan posisi dokter sebagai strata warga terhormat dan kelas satu, tetapi pernahkah kita membaca sebuah kisah seorang dokter yang fenomenal, Hunter “Patch” Adam ?

Sebuah dedikasi profesi yang tidak tergantung kepada materi, silakan Saudara semua menyimpulkan, mohon maaf bila kurang berkenan di hati, ini hanyalah opini.

Salam hangat Atas Yuda Kandita, seorang junior, Sukoharjo 12 Mei 2011

kutipan hari ini

3 Comments

Berbagi suasana hati, mencoba untuk menorehkan perenungan dan pengalaman batin. Semoga bisa menjadi pembelajaran untuk pribadi ataupun khalayak yang lebih luas.

” keajaiban bukan datang tiba-tiba, bukan juga kebetulan semata
usaha nyata diiringi ketulusan doa akan mewujudkan keajaiban-keajaiban dalam hidup kita. selamat mencoba ….”

Setidaknya ada yang bisa ditulis, di hari pertama memulai blog ini.